Archive for the ‘halmahera’ Category

Cerita perjalanan sebenarnya bukan melulu mengunjungi tempat ini dan tempat itu, apalagi kalau pergi beramai-ramai dengan teman sebaya seniornya, banyak cerita lucu dan menggemaskan untuk dikenang. Dan itu selalu teringat dan gak bosan-bosannya diulang kalau Stania buka-buka koleksi foto ataupun ketemuan, dan setiap kali diulang, setiap kali disambut dengan ketawa ramai seolah-olah itu baru pertama dibahas.

  • Memilih teman sekamar

Tidak semua dari kami adalah teman sekantor, kalaupun sekantor ternyata kami belum pernah pergi bersama yang pakai acara menginap, mungkin beberapa dari kami adalah teman sekos jaman kuliah 30 tahun yang lalu, tapi itu di jaman yang berbeda dari sekarang. Yang jelas kami adalah emak-emak overseket (di atas 50) yang biasa over cerewet dengan penghuni rumah, sebagian besar dari kami overweight sehingga khawatir berisik bobonya. Hampir semua yakin punya kebiasaan jelek yang bakal menyulitkan teman sekamar yang tidak biasa, seperti mandi lama, sebal melihat kamar mandi becek, pantang berhenti ngobrol sebelum tidur, buang angin di waktu bobo, sering kebangun di malam hari, sampai dengan urusan mati/hidupnya lampu waktu tidur. Karena beberapa alasan gak penting di atas, kami sangat hati-hati memilih 2 roommate. Setelah saling membeberkan kekurangan masing-masing, penulis mendapatkan pasangan yang punya kebiasaan langsung pingsan begitu mencium bantal sehingga gak bakal terganggu dengan suara ngorok tetangga ataupun tetangga yang masih perlu lampu baca. Ada juga teman yang pasrah tidak banyak pilih, salut dengan mereka. Puji syukur, sampai dengan akhir perjalanan tidak ada penghuni yang complain dengan tetangga… atau ada yang disimpan dalam hati saja?

  • Ala Backpacker

Sebagian besar Stania cuma biasa bepergian jauh dengan keluarganya atau dalam rangka dinas, jadi ini perjalanan pertama pergi dengan teman-teman tanpa fasilitas/kemudahan apapun, bahasa kerennya ala backpacker. Ditambah lagi kami memang memutuskan akan mengurus perjalanan ini secara mandiri, mulai dari mengurus visa, membeli tiket, reservasi hotel, menyusun rencana perjalanan, dengan panduan teman yang sudah terbiasa travelling. Ini bukannya tanpa risiko dan memang terjadi apa yang sudah dibayangkan dari awal.

Berjalan kaki kemana-mana adalah bukan kebiasaan sebagian besar orang Indonesia. Kita terbiasa hidup mudah termasuk dalam urusan transportasi. Segala moda transportasi tersedia sejak dari pintu pagar setiap warga. Kebiasaan ini agak menyulitkan di negara orang, dimana taksi pasti mahal dan tidak ada ‘ojek-online’ yang bisa dipesan, alhasil sebagian besar jalan-jalan Stania memang benar ‘jalan’ dalam arti yang sebenarnya. Walaupun sudah menjadi tekad sejak sebelum berangkat, realisasinya adalah nightmare, pinggang sakit, badan pegal, termasuk kaki lecet yang bahkan menjadi alasan kuat untuk beli sepatu baru yang semoga aman dipakai. Ditambah lagi harus menggendong backpack berisi perbekalan supaya gak banyak jajan, botol minum, kamera DLSR, jaket, termasuk sendal jepit. Beberapa teman bisa melewati ujian jalan kaki ini dengan tabah, walaupun kaki sudah terpincang-pincang,  tapi ada juga yang setiap ada kesempatan selalu usul naik taksi, usulan yang ini sering ditolak… mengingat isi dompet terbatas.

Bangga lho bisa melakukan banyak hal secara mandiri, bahkan ada teman yang mengeluarkan pernyataan setengah mengeluh: biasanya ada suami yang angkatin koper, bayarin ini dan itu, lha ini semuanya sendiri… wkwkwk….

  • Belajar hal baru

Entah bagaimana kami tidak mempersiapkan diri beli Opal card untuk mengakses transportasi umum di Sydney seperti kereta dan public bus. Beberapa kali perjalanan dengan kereta bisa ditanggulangi dengan membeli tiket sekali pakai di stasiun langsung di mesin penjual tiket, tinggal memasukkan uang tunai, memilih tujuan… dan keluarlah tiket yang diinginkan. Tapi ternyata ada mesin yang tidak menerima uang tunai, walaupun sudah dicoba beberapa kali tetap gagal. Melihat kesulitan dan wajah-wajah bingung Stania, datanglah petugas stasiun dan tanpa babibu langsung menempel kertas pengumuman yang isinya pengumuman, mesin hanya bisa dipakai secara non tunai… wadouh… tidak semua rombongan siap kartu kredit, ada yang bawa tapi kartu kredit yang pakai sistem tanda tangan saja, mana bisa dipakai😀, akhirnya seorang teman berinsiatif pakai kartu untuk membeli tiket seluruh rombongan, parahnya mesin cuma bisa mengeluarkan 2 tiket dalam sekali transaksi, berarti harus dilakukan dalam 8 kali transaksi untuk 16 Stania, parahnya antrian mulai panjang dan kami tidak mau berisiko belajar membeli tiket di depan mesin ditungguin antrian yang sudah mengular, akibatnya teman ini yang jadi korban dengan keringat panik berusaha menyelesaikan 8 transaksi, beberapa dari kami masuk antrian untuk kepantasan saja, sambil mendengar omelan beberapa bule yang menyesalkan kenapa kami tidak membeli opal card di mini market saja… lha meneketehe☹️. Cuma itu kok bagian yang sulit, setelah  beberapa kali naik kereta, baru tahu informasi kalau kita bisa bayar tiket lebih murah menggunakan opal card yang bisa diisi ulang, terpaksa beli deh, walaupu sisa, lumayan buat kenang-kenangan, visa masih bisa dipakai selama 3 tahun kok… hehehe.

OZ-9731Belajar menghargai alam dan budaya rupanya harus belajar jauh sampai ke Sydney. Dalam satu tour yang kami rencanakan adalah tour Blue Mountain,intinya sih melihat keindahan Blue Mountain dan sekitarnya. Ada hiking menuju air terjun Wenworth, tapi mereka melengkapinya dengan guide tour yang kayanya lulusan jurusan biologi, soalnya sangat paham setiap jenis pohon yang kita lewati. Padahal ngga ada tumbuhan eksotis seperti yang banyak bertebaran di hutan-hutan Indonesia (anggrek, pakis, etc). Jadi ingat tanah airku Indonesia,  negeri elok yang amat kucinta… halah. Ada lagi judul kunjungannya adalah melihat jejak budaya Aborigin, yang realisasinya adalah melihat gambar seekor kangguru yang ditatah diatas batuan secara sederhana banget, namun ada cerita panjang dibaliknya, seperti kenapa kepala kangguru meghadap ke sisi ini, kemudian proses penyembelihan kangguru menurut tradisi aborigin. That’s all. OZ-9713Bayangkan kalau cara menjual seperti ini diterapkan di Indonesia, penjelasan satu lokasi budaya bisa tiga hari tiga malam belum selesai.

 

  • Parahnya daya ingat kalo sudah sweet fifty

Kalau gak ingat dimana menyimpan obat-obatan padahal sudah rapi masuk koper dan ransel mah sudah biasa. Atau merasa sudah menyimpan sesuatu di dalam ransel tapi gak nemu. Tapi kalau kejadiannya berulang-ulang pada oknum yang sama …. jadi agak gemes juga. Bayangkan si teman ini pertama kali merasa sudah simpan hp di tas pinggangnya, tapi berhubung dalam perjalanan di suatu tempat tasnya terbuka dan hp tidak ditemukan, semua jadi ikut sedih membayangkan si hp yang sudah dinyatakan hilang. Ternyata sang hp hanya nyelip dalam ransel yang ditinggal di bus, dan ini terjadi di hari pertama perjalanan, saat transit di Kuala Lumpur.

Kejadian kedua lebih heboh lagi, karena yang nyelip atau dinyatakan hilang lagi adalah paspor. Ini disadari waktu rombongan mau check in di Ibis-Melbourne setelah semalaman tidur di NSW Train. Beberapa teman sampai ikut membongkar laci ransel ybs, gak percaya dengan pengakuan bahwa paspor disimpan sekantong dengan sandal jepit. Kejadian yang ini gak langsung happy ending, karena ternyata paspor jatuh waktu mengambil sandal jepit di kereta (seperti yang sudah kami skenariokan) yang untungnya ditemukan dan diselamatkan petugas NSW Train (bravo NSW Train), dan baru bisa diselesaikan dalam perjalanan balik ke Sydney.

Masih ada kejadian ketiga (yang penulis ingat), doi ketinggalan  jaket di kursi mobil yang kami sewa untuk mengantar rombongan ke pantai. Ceritanya doi ini memang agak tebal kulitnya, sehingga biarpun kita semua lengkap baju berlapis sampai dengan sarung tangan, beliau tetap merasa gerah dan pakai acara buka jaket. Tentu saja mengingat sejarah pelupanya beliau, jaket pasti ditinggal begitu saja. Lha kok untungnya (lagi), kami masih berurusan dengan pak supir yang sama untuk mengantar ke stasiun kereta, jadi selamatlah jaket pink si teman ini.

sebenarnya tidak ada yang salah dari ibu yang satu ini, cuma beliau memang terlalu sibuk mengurusi teman-teman yang lain karena perannya sebagai seksi konsumsi unofficial… hehehe ✌️.

“Why do you go away? So that you can come back. So that you can see the place you came from with new eyes and extra colors. And the people there see you differently, too. Coming back to where you started is not the same as never leaving.” —Terry Pratchett
Itu kutipan yang aku suka, menunjukkan banyak hal yang kita pelajari dari suatu perjalanan, selain melihat destinasi indah, unik dan baru tentunya. Demikian juga perjalanan bersama teman-teman Stania, banyak ketemu tantangan dan pengalaman baru, yang menyenangkan, yang menjengkelkan, yang penting dan gak penting untuk diceritakan, semuanya menambah warna persahabatan kami yang sudah sepanjang 33 tahun ini.

Can’t wait to the next trip with Stania.

Melengkapi kisah-kisah perjalanan Stania go to Oz, dapat dibaca di link:

  1. https://www.kompasiana.com/wrenges/59e303be0f6145149274cc53/abcd-stania84-go-to-oz-a-beautiful-harbour-called-darling
  2. https://www.kompasiana.com/wrenges/59db7c18ca269b24d55c0582/abcd-stania84-goes-to-oz-asyiknya-belanja-bareng-cari-diskonan
  3. https://www.kompasiana.com/wrenges/59db6040f2fd914ab6589383/abcd-stania84-goes-to-oz-a-bunch-of-colourful-dresses

Sudah lumayan banyak tempat yang aku kunjungi tapi tidak terlalu menggoreskan kesan yang mendalam. Perjalanan kali ini ke Halmahera Tengah, termasuk salah satu yang ingin kubagikan. Tempatnya lumayan jauh, perlu 3 macam moda transportasi untuk sampai ke Wedha, ibukota Kabupaten Halmahera Tengah, di kepulauan Halmahera, Maluku Utara. Sebelum berangkat aku sudah mengamati peta Indonesia yang tergantung di dinding kantor, dan dari gambar yang tidak jelas disitu, aku menyimpulkan, itu masih satu daratan dengan Ternate. Untuk meyakinkan, aku konfirmasi temen yang disana, dari bandara Sultan Baabullah sampai ke Wedha naik apa, naik mobil sekitar 4 jam katanya. Legalah aku, karena teman seruangan baru dari Halmahera Barat naik speed boat yang sampai miring karena ombak besar.
Aku dan seorang teman cowok berangkat dari Jakarta di jam 01.35 dini hari senin, direct flight ke Ternate dan tiba disana jam 7 pagi, udara sangat cerah, pemandangan di bandara tujuan sangat exotic, bandara terletak di pinggir laut dengan dominasi Gunung Gamalama yang lagi jinak. Di seberang tampak gunung indah yang katanya jadi model gambar uang seribu, ternyata itu pulau Maitara yang bentuknya menggunung, berdampingan dengan pulau Tidore. Aku selalu senang dengan view pantai yang tidak pernah terasa membosankan. Setelah mampir lapor dan sarapan pagi di kantor perwakilan setempat, baru jelas bahwa dari Ternate ke Pulau Halmahera harus menyeberang naik speed boat selama 1 jam sampai pelabuhan Sofifi, baru dilanjut perjalanan ke Wedha via darat selama 3 jam. Ya jelaslah harus menyeberang, Ternate dan Halmahera kan pulau yang berbeda, rupanya sia-sia pelajaran geografi jaman sekolah dulu kalau belum pernah ke lokasi, cuma nama-nama tempat saja yang bisa diingat.
Walaupun nenek moyangku Ambon asli, hampir seumur-umur aku tinggal jauh dari pantai, sehingga biarpun bisa berenang dengan baik dan benar, aku paling tidak pede kalau berada di laut. Demikian juga yang aku rasakan pagi ini, walaupun setelah speed melaju, tidak ada yang perlu dikhawatirkan, karena laut begitu tenang, hampir tidak ada goncangan berarti, sehingga akhirnya aku bisa sedikit santai menikmati perjalanan sampai ke seberang sambil jeprat jepret Pulau Ternate yang tampak menjauh di belakang speed yang kunaiki.
Perjalanan darat terasa sedikit membosankan, hanya sedikit rumah penduduk yang tampak kurang sejahtera di kiri kanan jalan, selebihnya hutan lindung, jurang dalam di sepanjang perjalanan, diselingi laut di kejauhan dan pemandangan gunung bergantian. Hotel di Wedha pun teras menyedihkan dengan fasilitas seadanya, cuaca disana yang sepanas-panasnya, khas daerah pertambangan (Wedha punya tambang nikel yang masih dalam tahap ekplorasi). Warung makanpun sangat terbatas pilihannya, tetapi ikan bakar menu utamanya, so no problem… Aku suka ikan banget.
Perjalanan pulang terpaksa ditempuh sore hari, karena harus mengejar pesawat Ternate Jakarta pagi jam 07.35. Sebenarnya perjalanan direncanakan setelah waktu makan siang, tapi ternyata banyak pekerjaan yang muncul di injury time, sehingga baru pada pukul 16.30, mobil mulai meluncur menuju Sofifi dan sampai pada pukul 19.30, di pelabuhan gelap yang sudah mulai sepi. Perasaanku mulai menciut lagi melihat suasana malam itu. Sambil menurunkan koper, temanku mulai wawancara dengan tukang perahu yang ada disana, menanyakan standar perlengkapan keselamatan kapal, rasanya makin gemetaran mengingat perahu-perahu di Indonesia yang terkenal sangat gagah berani mengarungi lautan tanpa perlengkapan standar keselamatan. Tapi tukang perahu dengan yakinnya mempromosikan, kapalnya sangat memadai, ada bantal berenang (pelampung), ada bantal polo (bantal guling), ada lampu dalam kapal dan lampu sorot, sangat melegakan. Situasi lautan tidak terbaca karena gelapnya, hanya di kejauhan tampak indahnya cahaya lampu kota Ternate diwaktu malam.
Akhirnya aku bisa membuktikan bahwa perjalanan malam lewat lautan sangat riskan karena ombak dan angin lumayan besar. Begitu speed mulau melaju, speed bergoyang begitu hebatnya, diselingi dengan suara dan rasa seperti speed terbanting ke sesuatu yang keras seperti mobil yang shock breakernya sudah mati terbanting dijalan berbatu dan berlubang dalam. Aku bingung harus berpegangan dengan keras atau bagaimana, karena menurut para pakar yang suka naik perahu, badan kita tidak boleh melawan ayunan perahu, supaya tidak mabuk laut. Tapi rasanya justru aku sudah mulai mual terutama karena ketakutan. Ada rasa malu juga, masa sih ngaku orang Ambon tapi mabuk laut. Sebetulnya bukan aku saja yang gelisah di dalam speed, temanku kellhatan sibuk cari posisi yang enak, ada satu penumpang cewek yang telungkup di pangkuan kekasihnya, entah takut, entah manja. Di depanku duduk pengantar kami dari Wedha, dia hanya senyum-senyum saja, berarti ini tidak terlalu parah. Tapi keluar juga pertanyaanku ‘ kenapa ini’, ‘ gapapa nih gini’, dan dia menjawab, ‘ gapapa ibu’, ‘cuma sedikit berangin dan cuaca tiba-tiba berubah, nanti kalau sudah agak ke tengah baru sedikit tenang’ . Aku berkesimpulan bahwa speed terbanting-banting dengan suara keras karena bertabrakan dengan ombak, mudah-mudahan body fiber speed cukup kuat dibanting-banting seperti itu. Tidak lupa aku mengirimkan doa mohon penyertaan Tuhan dengan sedikit rasa sedih, mengingat anak-anakku nun jauh disana yang tidak tahu mamanya dalam situasi seperti ini. Untung sinyal blackberry masih bagus, lumayan untuk pengalih perhatian, tapi alangkah lamanya waktu satu jam berlalu, di tengah lautan gelap, kelap kelip Ternate terasa sangat jauh.
Setengah perjalanan baru terasa kurang goncangan, kadang-kadang speed melaju perlahan karena baling-baling tersangkut rumput laut, tapi tetap dengan suara dan bantingan keras body speed dihajar ombak, hentakannya terasa sampai ke ulu hati.
Alangkah leganya ketika speed mulai merapat di dermaga Ternate depan Boulevard, tapi rasanya badan seperti habis berolah raga berat, lengkap dengan keringat (dingin). Yang penting masih sempat jeprat jepret Ternate di waktu malam.
Ada beberapa hal yang aku simpulkan malam itu. Pertama, alangkah nyaman dan penuh berkatnya kehidupanku sekarang ini di Jakarta, tidak seperti masyarakat pedalaman yang untuk bepergian ke kota terdekat saja harus menantang bahaya seperti itu, mungkin bagi mereka itu biasa, tapi tetap saja mereka berhak atas pelayanan transportasi yang lebih memadai. Kedua, lain kali aku harus memilih waktu perjalanan yang lebih nyaman terutama kalau lewat laut, naik ferry berjadwal mungkin lebih nyaman, apalagi di pagi hari, supaya tidak perlu sport jantung sepanjang perjalanan. Tapi nggak bisa kapok pergi ke tempat-tempat seperti itu, pengalaman yang sangat berharga untuk dilewatkan hanya karena rasa takut yang bisa diatasi.

20121025-212620.jpg

20121025-212644.jpg

20121025-212718.jpg

20121025-212810.jpg

20121025-212843.jpg

20121025-212909.jpg