Archive for the ‘dampak covid 19’ Category

A new normal

Posted: Mei 26, 2020 in dampak covid 19, life, pandemi

Pengen cerita corona tapi gak pakai judul corona…

Sudah lebih dari 2 bulan kami diisolasi di rumah, walaupun pakai istilah yang lebih halus, work from home. Sudah berbagai macam kegiatan diciptakan untuk mengisi waktu berlimpah yang akhirnya bisa kami nikmati, yang sebelumnya sangat sulit menyisihkan waktu, mulai dari membersihkan rumah, bongkar lemari pakaian, lemari buku, gudang, menjahit, merajut. Pokoknya rumah jadi makin rapi, kemudian berantakan lagi, dirapikan lagi. Bagian ini termasuk acara buang-membuang barang-barang yang sudah belasan tahun tidak tersentuh tapi selalu sayang untuk dibuang, sampai akhirnya out of date, obsolence dan harus dihapuskan dari catatan inventaris.

E2013A34-4549-4611-813D-C803C3EB99EFAda juga beberapa kegiatan baru seperti baking akibat bongkar bongkar lemari buku dan ketemu buku resep jaman baheula, dan ‘oven baru’ yang belum pernah dicoba sejak dibeli 6 bulan lalu. Lumayan juga ada yg berhasil, ada yang kurang berhasil tapi tetap enak dimakan, daripada jajan di luar yang kita tidak yakin kebersihannya. Sebetulnya baking ini juga dipicu postingan WA group tante-tante yang tiap sore penuh dengan foto-foto kue dan masakan yang bikin iri yang gak dikirimin samplenya….daripada ngiler ayo kita coba sendiri dengan konsul sana sini (trims buat tante chef yang banyak ngasih tips baking dan tante chef yang banyak posting foto)

Tanam menanam sayur juga dicoba, dengan segala keterbatasannya, tidak adanya lahan yang ideal untuk menanam. Coba pakai planter bag yang digantung didinding, sayur tidak berkembang, tetap kurus seperti kurang gizi, ditambah pupuk malah langsung layu. Coba tanam di rooftop, panas siang hari lumayan bikin gosong, dan begitu lupa nyiram, tanaman langsung dehidrasi juga dan mati. Ada juga sih bayam, tomat dan timun bisa tumbuh, tapi belum berhasil berbuah. Oh ya, dua kegiatan di atas bikin aktivitas belanja online meningkat lho, asyik bisa pilih loyang sampai bibit sayur sambil leyeh-leyeh… gak terasa tabungan jadi menipis… ini bahaya.

Yang jelas makin lengket dengan gadget dan isinya, demi mencoba memahami corona dari segala sudut dan berita. Mengamati satu persatu status teman-teman yang bermacam-macam mulai dari upload foto piknik, yang pasti sudah late posting mengingat jaman isolasi tidak ada lagi kesempatan untuk travelling kemanapun, upload foto zaman masih pada ingusan dan kurus tentunya, foto-foto momen tertentu, sampai dengan status-status seperti “I hate covid”, “I want my normal life back”, yang ini sih cukup menghibur, karena menyuarakan suara hati kita juga. Sampai pada content corona dari yang ilmiah sampai yang tidak ilmiah alias hoax juga ada.

Aura kejiwaan di rumah dan di grup-grup medsospun sudah mulai mengalami degradasi karena lama tidak melihat dunia luar. Lha semua kegiatan mulai dari tugas-tugas sekolah dan kantor, les musik anak, sampai dengan ibadah gereja dilakukan di ruang tengah yang itu-itu juga, ditambah sedikit melihat dunia lain lewat kamera zoom video conference. Bahkan Ujian sekolahpun dilakukan lewat media daring sambil nyandar di sofa empuk. Hampir semua menu kesukaan jadi tidak menarik lagi, padahal kegiatan masak memasak di dapur sudah sangat optimal dengan masak tiga kali sehari dengan menu berbeda, ditambah snack-snack hasil ujicoba resep dan indomie malam karena mata yang masih melek sampai malam.

Kalau melihat contoh cerita Wuhan tempat awal munculnya virus ini, kondisi begini disana baru tamat setelah 76 hari, itupun dengan catatan seluruh warganya sangat disiplin dengan sukarela atau paksa, fasilitas kesehatan disana canggih punya, anggaran darurat hampir tak terbatas dan pemerintah yang otoriter. Lha bagaimana dengan kondisi negara kita yang semuanya serba sebaliknya dari Wuhan??? Apalagi yang mesti kita lakukan supaya kita terbiasa dengan kondisi begini.

Yang paling menjengkelkan kalau baca artikel di medsos ataupun komentar di whatsapp group yang isinya menyalahkan para pengambil kebijakan yang dianggap selalu salah dalam menghadapi bencana nasional ini. Mereka cuma kaya penonton/komentator sepakbola yang jago menganalisa pihak lawan maupun kawan, walaupun tidak pernah sekalipun pompa bolanya… cape deh…

Bersyukur adalah salah satu cara yang lumayan susah dipraktekkan untuk orang-orang dengan tingkat keimanan sedang-sedang saja, atau untuk orang-orang yang belum pernah lulus uji menghadapi suatu kondisi sulit. Apalagi orang-orang yang selalu melihat dengan cara mendongak ke atas. Gitu ya…

Bersyukur berarti menerima kondisi yang ada dan menganggapnya biasa saja. Salah satu anakku betah banget ngendon di kamarnya seharian dan hanya muncul untuk ambil makanan, apakah dia kategori yang bisa menerima keadaan ini. Sementara ada banyak orang yang merasa sedih sekali dengan kondisi ini karena dia tidak bisa ngantor. Apa dia termasuk yang tidak bisa bersyukur dengan kondisinya? Aku sendiri kadang-kadang merasa ketakutan sampai tidak bisa tidur atau bernapas dengan lega, tensi juga naik, hadew…. Tapi belakangan aku sudah mulai menemukan cara untuk menghilangkan rasa itu. Mendengarkan khotbah online yang banyak dibuat gereja-gereja di situasi seperti ini terasa menenangkan dan lumayan bisa memejamkan mata. Atau melihat tanaman sayur yang mulai tumbuh melebarkan daun-daun kecilnya. Sesekali berkaraoke pake aplikasi yang banyak di hape sekarang, dengan diiringi pandangan heran anak-anak, apalagi yang kedengeran cuma suara duanya.

Yang paling mengerikan adalah situasi yang tidak jelas, apalagi menjelang lebaran, banyak terjadi kerumunan yang harusnya terlarang, manusia tumpleg bleg di supermarket, bahkan ada pusat perbelanjaan yang ntah gimana caranya bisa buka dan diserbu pembeli baju lebaran, alamak. Larangan mudik tidak membuat jumlah mobil di jalan tol tujuan Jawa jadi berkurang walaupun banyak yang harus diperintahkan putbal alias putarbalik, …… dan yang paling menyeramkan, belakangan ini jumlah kenaikan penderita ada yang hampir seribu per hari. Mudah-mudahan itu karena persiapan lebaran saja, karena banyak juga yang patuh tetap sholat ied di rumah saja.

Akhirnya kita harus sampai pada kesimpulan, kondisi kaya begini bakal berlangsung lama, so kita harus berdamai dengan apa yang ada. Hal ini ditandai dengan banyaknya brosur-brosur dari pihak berwenang mengenai bagaimana menjalani new normal di kantor-kantor pemerintah (tanda-tanda harus berangkat kantor lagi nih-padahal sudah biasa bangun siang). Teman-teman yang stay at kampung halaman, sudah mulai mencari jalan kembali ke ibukota dengan segala persyaratan yang lumayan ribet (surat RT/RW, surat tugas, surat sehat sampai pernyataan dari atasan di kantor) dan belum tentu disetujui juga. Jadi ingat dengan persyaratan berkunjung (berlibur) ke Disney Shanghay yang harus menunjukkan data sehat yang tercantum dalam app yang dibangun oleh pemerintah China, tentu dengan banyak persyaratan lain seperti beli tiket secara online, cek temperatur, tetap pakai masker. Kita juga bikin banyak persyaratan, bedanya kita masih tertatih-tatih menuju kesana, karena kita engga pernah sukses membangun satu data yang benar dan menyeluruh, jadi semuanya perlu dokumen fisik, ditambah dengan perilaku masyarakat kita masih banyak yang membangkang menjalani prosedur kesehatan.
Paling tidak semua berusaha menterjemahkan new normal dengan caranya masing-masing. Di lobby kantor sudah dipasang permanen, ozone chamber untuk setiap pegawai yang datang, akibatnya terjadi antrian panjang menunggu giliran disembur dengan Ozone walaupun tidak ada lagi antri absensi karena sudah bisa dilakukan lewat gadget manapun. Yg belum ada adalah keputusan tetap WFH atau WFO sebagian atau bareng-bareng. Semua masih bingung menjalani si new normal itu.

Yang paling bikin sedih adalah rencana wedding nak wedok yang seharusnya bulan juni ini dan jalan-jalan menikmati musim gugur Eropa bareng sohib sesama tante dan oma yang jadi mundur karena ketidakpastian kapan situasi ini berakhir. Manusia sudah terlalu lama punya rencana-rencana sendiri yang dianggap paling super, lupa bahwa Yang Maha Kuasa juga punya rencana-rencana atas diri kita. Pandemi ini menjadi pengingat yang luar biasa bagi umat manusia untuk dekat kembali dengan Tuhan.

Tuhan semoga ini semua cepat berakhir atau beri kami kekuatan menjalaninya. Amin

 

IMG_9211