Arsip untuk Oktober, 2012

Sudah lumayan banyak tempat yang aku kunjungi tapi tidak terlalu menggoreskan kesan yang mendalam. Perjalanan kali ini ke Halmahera Tengah, termasuk salah satu yang ingin kubagikan. Tempatnya lumayan jauh, perlu 3 macam moda transportasi untuk sampai ke Wedha, ibukota Kabupaten Halmahera Tengah, di kepulauan Halmahera, Maluku Utara. Sebelum berangkat aku sudah mengamati peta Indonesia yang tergantung di dinding kantor, dan dari gambar yang tidak jelas disitu, aku menyimpulkan, itu masih satu daratan dengan Ternate. Untuk meyakinkan, aku konfirmasi temen yang disana, dari bandara Sultan Baabullah sampai ke Wedha naik apa, naik mobil sekitar 4 jam katanya. Legalah aku, karena teman seruangan baru dari Halmahera Barat naik speed boat yang sampai miring karena ombak besar.
Aku dan seorang teman cowok berangkat dari Jakarta di jam 01.35 dini hari senin, direct flight ke Ternate dan tiba disana jam 7 pagi, udara sangat cerah, pemandangan di bandara tujuan sangat exotic, bandara terletak di pinggir laut dengan dominasi Gunung Gamalama yang lagi jinak. Di seberang tampak gunung indah yang katanya jadi model gambar uang seribu, ternyata itu pulau Maitara yang bentuknya menggunung, berdampingan dengan pulau Tidore. Aku selalu senang dengan view pantai yang tidak pernah terasa membosankan. Setelah mampir lapor dan sarapan pagi di kantor perwakilan setempat, baru jelas bahwa dari Ternate ke Pulau Halmahera harus menyeberang naik speed boat selama 1 jam sampai pelabuhan Sofifi, baru dilanjut perjalanan ke Wedha via darat selama 3 jam. Ya jelaslah harus menyeberang, Ternate dan Halmahera kan pulau yang berbeda, rupanya sia-sia pelajaran geografi jaman sekolah dulu kalau belum pernah ke lokasi, cuma nama-nama tempat saja yang bisa diingat.
Walaupun nenek moyangku Ambon asli, hampir seumur-umur aku tinggal jauh dari pantai, sehingga biarpun bisa berenang dengan baik dan benar, aku paling tidak pede kalau berada di laut. Demikian juga yang aku rasakan pagi ini, walaupun setelah speed melaju, tidak ada yang perlu dikhawatirkan, karena laut begitu tenang, hampir tidak ada goncangan berarti, sehingga akhirnya aku bisa sedikit santai menikmati perjalanan sampai ke seberang sambil jeprat jepret Pulau Ternate yang tampak menjauh di belakang speed yang kunaiki.
Perjalanan darat terasa sedikit membosankan, hanya sedikit rumah penduduk yang tampak kurang sejahtera di kiri kanan jalan, selebihnya hutan lindung, jurang dalam di sepanjang perjalanan, diselingi laut di kejauhan dan pemandangan gunung bergantian. Hotel di Wedha pun teras menyedihkan dengan fasilitas seadanya, cuaca disana yang sepanas-panasnya, khas daerah pertambangan (Wedha punya tambang nikel yang masih dalam tahap ekplorasi). Warung makanpun sangat terbatas pilihannya, tetapi ikan bakar menu utamanya, so no problem… Aku suka ikan banget.
Perjalanan pulang terpaksa ditempuh sore hari, karena harus mengejar pesawat Ternate Jakarta pagi jam 07.35. Sebenarnya perjalanan direncanakan setelah waktu makan siang, tapi ternyata banyak pekerjaan yang muncul di injury time, sehingga baru pada pukul 16.30, mobil mulai meluncur menuju Sofifi dan sampai pada pukul 19.30, di pelabuhan gelap yang sudah mulai sepi. Perasaanku mulai menciut lagi melihat suasana malam itu. Sambil menurunkan koper, temanku mulai wawancara dengan tukang perahu yang ada disana, menanyakan standar perlengkapan keselamatan kapal, rasanya makin gemetaran mengingat perahu-perahu di Indonesia yang terkenal sangat gagah berani mengarungi lautan tanpa perlengkapan standar keselamatan. Tapi tukang perahu dengan yakinnya mempromosikan, kapalnya sangat memadai, ada bantal berenang (pelampung), ada bantal polo (bantal guling), ada lampu dalam kapal dan lampu sorot, sangat melegakan. Situasi lautan tidak terbaca karena gelapnya, hanya di kejauhan tampak indahnya cahaya lampu kota Ternate diwaktu malam.
Akhirnya aku bisa membuktikan bahwa perjalanan malam lewat lautan sangat riskan karena ombak dan angin lumayan besar. Begitu speed mulau melaju, speed bergoyang begitu hebatnya, diselingi dengan suara dan rasa seperti speed terbanting ke sesuatu yang keras seperti mobil yang shock breakernya sudah mati terbanting dijalan berbatu dan berlubang dalam. Aku bingung harus berpegangan dengan keras atau bagaimana, karena menurut para pakar yang suka naik perahu, badan kita tidak boleh melawan ayunan perahu, supaya tidak mabuk laut. Tapi rasanya justru aku sudah mulai mual terutama karena ketakutan. Ada rasa malu juga, masa sih ngaku orang Ambon tapi mabuk laut. Sebetulnya bukan aku saja yang gelisah di dalam speed, temanku kellhatan sibuk cari posisi yang enak, ada satu penumpang cewek yang telungkup di pangkuan kekasihnya, entah takut, entah manja. Di depanku duduk pengantar kami dari Wedha, dia hanya senyum-senyum saja, berarti ini tidak terlalu parah. Tapi keluar juga pertanyaanku ‘ kenapa ini’, ‘ gapapa nih gini’, dan dia menjawab, ‘ gapapa ibu’, ‘cuma sedikit berangin dan cuaca tiba-tiba berubah, nanti kalau sudah agak ke tengah baru sedikit tenang’ . Aku berkesimpulan bahwa speed terbanting-banting dengan suara keras karena bertabrakan dengan ombak, mudah-mudahan body fiber speed cukup kuat dibanting-banting seperti itu. Tidak lupa aku mengirimkan doa mohon penyertaan Tuhan dengan sedikit rasa sedih, mengingat anak-anakku nun jauh disana yang tidak tahu mamanya dalam situasi seperti ini. Untung sinyal blackberry masih bagus, lumayan untuk pengalih perhatian, tapi alangkah lamanya waktu satu jam berlalu, di tengah lautan gelap, kelap kelip Ternate terasa sangat jauh.
Setengah perjalanan baru terasa kurang goncangan, kadang-kadang speed melaju perlahan karena baling-baling tersangkut rumput laut, tapi tetap dengan suara dan bantingan keras body speed dihajar ombak, hentakannya terasa sampai ke ulu hati.
Alangkah leganya ketika speed mulai merapat di dermaga Ternate depan Boulevard, tapi rasanya badan seperti habis berolah raga berat, lengkap dengan keringat (dingin). Yang penting masih sempat jeprat jepret Ternate di waktu malam.
Ada beberapa hal yang aku simpulkan malam itu. Pertama, alangkah nyaman dan penuh berkatnya kehidupanku sekarang ini di Jakarta, tidak seperti masyarakat pedalaman yang untuk bepergian ke kota terdekat saja harus menantang bahaya seperti itu, mungkin bagi mereka itu biasa, tapi tetap saja mereka berhak atas pelayanan transportasi yang lebih memadai. Kedua, lain kali aku harus memilih waktu perjalanan yang lebih nyaman terutama kalau lewat laut, naik ferry berjadwal mungkin lebih nyaman, apalagi di pagi hari, supaya tidak perlu sport jantung sepanjang perjalanan. Tapi nggak bisa kapok pergi ke tempat-tempat seperti itu, pengalaman yang sangat berharga untuk dilewatkan hanya karena rasa takut yang bisa diatasi.

20121025-212620.jpg

20121025-212644.jpg

20121025-212718.jpg

20121025-212810.jpg

20121025-212843.jpg

20121025-212909.jpg